Selasa, 21 September 2021

Hujan Tidak Selalu Romantis

Ruang perpustakaan itu lengang, dengan rinai hujan diluar ruangan terasa tenang menghanyutkan. May takzim memandang rinai hujan dari kursi baca tempatnya duduk sejak satu jam lalu. Menghabiskan waktu di perpustakaan adalah favoritnya. Membaca apa saja. Literatur untuk membahas laporan praktikum, buku tentang lingkungan, kekayaan alam, vegetasi negeri-negeri jauh, hingga esai sastra, naskah drama, antologi puisi atau sekedar mengelilingi seluruh rak membuat list buku apa saja yang pengen dibawa pulang untuk dibaca di kamar kosan di akhir pekan.

May mendesah nafasnya pelan. Baru hari rabu, laporan praktikumnya masih kurang dua lagi yang belum teratasi. List programnya di teater juga menunggu realisasi. Berusaha fokus menyelesaikan semua tugas satu persatu. Tapi justru yang menginvasi relung pikiran adalah dia lagi, batas anomali dunia nyata dan dunia mimpi. Huff...

...

Sejenak teringat percakapannya dengan mbak Alvin, yang sengaja datang ke kamar kosnya semalam. 

"May, keluar yuk. Aq kenalin temanku anak tehnik. Anak teater juga lho kayaknya cocok sama kamu"

Alvin kakak kosnya, kuliah tehnik bangunan satu tingkat diatasnya. May seringkali menganggapnya sebagai kakak sendiri. Sebagai sesama mahasiswa yang jauh dari orangtua, Alvin teman ngobrol yang menyenangkan. Sering juga mereka latihan bareng paduan suara di aula kampus, juga latihan nyanyi berdua sambil santai di pojok teras kosan, di kamar Alvin atau di kamar May hingga pernah juga  sambil duduk di atap lantai satu yang bisa dipanjat dari balkon lantai dua.

"Aku masih mau lanjutin bikin script tata lampu latihan bersama nih mbak. tanggung. besok akunya mau ke perpustakaan cari literatur laporan praktikum fisiologi hewan"

"Nah, justru itu. Dia terampil dalam tata lampu pementasan. Kalian bisa ngobrolin itu sambil temani kita makan. Rame-rame kok. Aku juga mau rundingan tugas kelompok. ga enak kalo ceweknya cuma aku sementara mereka bertiga"

Benar saja. Brian namanya. Sejak pertama bertemu matanya bersinar ramah, lincah menjelaskan ketertrikannya pada seni pertunjukan, juga dasar-dasar konsep tata lampu pementasan. Brian juga yang memperbaiki draft buatan May dari stage pertama hingga stage terakhir. Mereka terlihat akrab ngobrol bersama mencomot sembarang topik apa saja, karena ternyata Brian juga suka ngendon di perpustakaan. Rak buku sastra. Pelariannya saat tugas melanda dan dia sedang butuh refresh sejenak. Obrolan kami melompat kesana kemari diselingi candaannya yang lucu. Sepertinya sebagian besar anak tehnik diluar tugas kuliah yang serius, mereka sangat tahu bagaimana melepaskan sejenak keseriusan mereka.

Hampir pukul 9 malam saat May dan Alvin pulang ke kosan. Batas jam malam buat kosan putri. Alvin langsung nyelonong masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Garis wajahnya yang dewasa menatap May serius. Hening sejenak. May beranjak pelan menyusul duduk di ranjang. Candaan lepasnya di perjalanan pulang seakan telah menguap entah kemana.

"May...sebenarnya aku ga pengen ikut campur urusan pribadi. Tapi kurasa sudah waktunya kamu deket sama pria yang nyata, yang bener-bener ada, bisa menjadi teman ngobrol berbagi cerita, bertukar pikiran, ide dan bisa jadi tentang impian masa depan. Jangan dijadikan beban, ini cuma saran. Aku juga paham kamu ga bakalan mau dengan segala macam jenis dan varian apapun gagasan tentang pacaran"

May mengatupkan bibirnya pelan. Urung bicara. Lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. Karenanya Alvin segera berpamitan kembali ke kamarnya sendiri. Meninggalkan jejak pertanyaan yang menggantung di langit-langit kamar. May menatap aneka kertas kecil berwarna di dinding kamarnya. Agendanya besok pagi. Ada yang tak pernah lepas dari dinding itu. Kertas kecil berwarna biru muda dengan hiasan glitter berwarna bertuliskan "Balesin Surat Gibran"

....

Rinai hujan diluar perpustakaan kian menderas. Membuat konsentrasinya beralih pada kertas HVS putih yang baru terisi separuh. Surat buat Gibran. Bagian penting dari agenda hariannya. Bercerita tanpa suara. Menyampaikan perasaan lewat tulisannya. Menikmati anomali yang sering membuatnya terkunci dalam dunianya sendiri. May dan Gibran. Jika saja bisa menuliskan rindu, tapi yang tertulis justru cerita tentang teater yang akan merealisasikan program latihan alam. Jika saja bisa menuliskan pengen ketemu, tapi yang tertulis justru sulitnya cari bahan praktikum morfologi tumbuhan. Urusan tentang Gibran selalu membuatnya terasa rumit dan butuh lebih banyak waktu. Entah kenapa. Sepertinya laporannya harus ditangguhkan hingga malam nanti. May sudah terbiasa mengatur jam tidur seminimal mungkin dan tetap produktif sepanjang hari.

Setengah jam kemudian, hujan terlihat mereda. May membereskan buku-bukunya di meja, melipat kembali kertas HVS putih yang kini sudah terisi penuh. Meninggalkan beberapa buku yang tidak jadi dipinjamnya. Mendung masih bergayut mengantar dingin, langkah kakinya terhenti saat matanya tertumbuk pada seraut wajah yang tersenyum ramah. Brian...

#Teaser: Bendera Kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar